Salah satu atraksi dalam prosesi ritual ruwatan nagari |
"Itu tadi mantra Singkir Tolak Bala serta tembang pangkur yang berisi Sastra Jendra. Tujuannya agar di bulan Suro ini segala bentuk keburukan yang ada di dunia bisa hilang. Sebab bagi masyarakat Jjawa, bulan Suro adalah bulan tirakat. Jadi harus kita isi dengan tirakat untuk membersihkan diri dan alam semesta dari sifat-sifat buruk, untuk kebaikan ke depan," jelas Mbah Lawu saat dihubungi usai acara.
Pria bernama Lawu Warta ini juga selalu melengkapi aksinya dengan beragam berbagai alat pendukung, salah satunya wayang.
Yang menarik, wayang kulit yang disebutnya sebagai sosok Semar itu dibuat Mbah Lawu dengan bentuk yang jauh berbeda dari pakem wujud Semar secara umum.
Wayang ini lebih bisa dikatakan sangat abstrak, dengan hiasan beberapa huruf Jawa di tubuhnya.
"Semar itu bisa dikatakan sebagai perwujudan Dewa atau Tuhan yang turun ke bumi. Karena itulah wayang inipun merupakan simbolisasi wujud Tuhan. Yang mana selama ini diyakini bahwa Tuhan itu tak berwujud. Sehingga bentuk dari wayang ini juga abstrak," jelas Mbah Lawu.
Wayang itu selanjutnya dimainkan Mbah Lawu dalam gerakan-gerakan mistis yang merupakan simbol pembersihan alam semesta.
Gerakan-gerakan itu di antaranya dengan membakar lembaran-lembaran kertas bergambar rajah, serta tentunya sambil terus merapal mantra Singkir Tolak Bala.
Akhir prosesi ritual yang disebut Mbah Lawu sebagai bagian dari prosesi ritual ruwatan bumi itu, diisi dengan pembagian jenang Suran yang telah disiapkan oleh panitia.
Jenang Suran adalah bubur yang terbuat dari beras dengan topping beraneka lauk seperti telur, sambal goreng dan lainnya.
"Jenang Suran merupakan simbolisasi dari tuntunan untuk tirakat. Sebab sebanyak apapun kita makan jenang atau bubur, tidak akan bisa membuat kita kenyang. Karenanya di situ kita dituntut untuk tirakat. Dan hal itu sesuai dengan makna bulan Sura yang diyakini sebagai bulan untuk tirakat bagi masyarakat Jawa," ungkap Agung Diponegoro, dari Pusat Lembaga Kebudayaan Jawa (PLKJ) sebagai salah satu penyelenggara acara tersebut.
PLKJ yang berada di bawah Yayasan Karya Dharma Pancasila memang kerap menggelar berbagai acara yang bersifat budaya, sebagai wujud upaya pelestarian kebudayaan leluhur.
"Acara ini merupakan wujud dari komitmen kami untuk senantiasa melestarikan kebudayaan warisan leluhur," jelas Dr. Anggoro Panji Nugroho, Ketua Yayasan Karya Dharma Pancasila.
Dr. BRM. Kusumo Putro, SH, MH, Ketua Forum Budaya Mataram (kanan) mengapresiasi acara wilujengan ruwatan nagari yang digelar PLKJ |
Tanggapan positif pun diberikan oleh Ketua Forum Budaya Mataram, BRM. Kusumo Putro, SH, MH yang secara khusus hadir menyaksikan seluruh rangkaian wilujengan.
"Atas nama Forum Budaya Mataram, kami sangat mengapresiasi acara ini. Karena tujuan dari acara wilujengan dan umbul donga ini sangat baik, yakni untuk mendoakan bangsa. Selain itu tentunya acara ini juga wujud pelestarian kebudayaan Jawa dan Indonesia," ujarnya.
Kusumo pun menambahkan bahwa FBM terus berupaya melakukan aksi untuk mewujudkan pelestarian budaya di masyarakat.
"Sejauh ini berbagai upaya terus kita lakukan sebagai wujud untuk memunculkan kesadaran pelestarian kebudayaan di masyarakat. Salah satunya tentunya adalah dengan melakukan edukasi dengan berbagai cara. Karena bagaimanapun kebudayaan adalah wujud jati diri bangsa yang harus selalu dilestarikan, untuk kebaikan bangsa ke depan," tandasnya. //Sik