TfG6TUW8BUO7GSd6TpMoTSd7GA==
,, |

Headline News

Tujuh Dasawarsa Lika Liku Film Indonesia


Ada delapan masa yang ditulis Jauhari dkk, sebagai rangkaian sejarah itu. Di mana awal sejarah perfilman di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari beberapa judul film bisu yang pernah diproduksi oleh para sineas Belanda di negeri ini.

Cikal Bakal

Film berjudul Loetong Kasarung, merupakan film pertama kali dalam sejarah perfilman Indonesia. Film yang mengambil kisah legenda di masyarakat Jawa ini dibuat pada 1926 oleh G. Kroeger dan L. Heuveldrop. Dari film Loetong Kasarung ini, selanjutnya mulailah banyak sineas lain yang ikut membuat film. Tersebutlah judul-judul seperti Euis Atjih, Njai Dasima, Rampok Preanger, Si Comat, dan lain-lain. Dan seperti Loetong Kasarung, film-film tersebut termasuk film bisu yang dibuat oleh orang Belanda ataupun Tionghoa.

Salah sath adegan dalam film Darah dan Doa

Film pertama yang mulai menampilkan pembicaraan dibuat pada 1931 yang berjudul Atma de Vischer. Dengan penggunaan campuran bahasa Melayu, film-film yang dibuat di masa ini menjadi lebih menarik. Terlebih dalam beberapa judul menampilkan adegan beladiri, yang berdampak membangkitkan semangat untuk melawan penjajahan Belanda.

Film demi film terus diproduksi, termasuk Terang Boelan pada 1937, yang menjadi salah satu film melegenda. Film bergenre drama romantis ini disutradarai oleh Albert Balink dengan bintang Roekiah dan Raden Mochtar. Yang selanjutnya melambungkan nama-nama pemainnya sebagai idola bagi masyarakat pribumi.

Di masa ini pengawasan terhadap produksi film dilakukan snagat ketat, demikian juga dengan proses sensor. Sebab tentunya pemerintah Hindia Belanda tidak ingin kalau film-film itu nantinya akan memberi pengaruh pada masyarakat, untuk menentang pemerintah.

Meski demikian pertumbuhan industri perfilman terbilang cukup pesat. Di mana pada tahun 1941 tercatat ada sekitar 32 judul film dengan berbagai genre diproduksi. Namun sayangnya seiring terjadinya krisis perang dunia ke II, industri perfilman di Indonesia juga terpengaruh. Sehingga pada tahun 1942 hanya ada 3 judul film yang beredar.  

Masuknya Jepang ke Indonesia memberi warna tersendiri dalam perkembangan perfilman. Di mana film yang diproduksi pada masa itu lebih berisi propaganda tentang kebaikan Jepang. Yang tentunya juga diikuti dengan pelarangan film asing masuk ke Indonesia karena takut akan berpengaruh terhadap pola pikir rakyat untuk memberontak.

Ketatnya kebijakan penjajah Jepang terhadap perfilman, membuat produksi film di Indonesia mengalami penurunan cukup drastis. Dan bahkan produksi film ini akhirnya sempat vakum seiring terjadinya revolusi kemerdekaan. Barulah pada 1948 diproduksi tiga film yaitu Air Mata Mengalir di Tjitaroem (Tan Wong Bros), Anggrek Boelan (South Pasific Film), dan Djaoeh Di Mata (South Pasific Film). Di tahun berikutnya 1949 kehidupan film mulai bergairah dengan diproduksinya delapan film.

Namun film-film itu umumnya diproduksi oleh perusahaan asing. Sehingga saat tahun 1950 Usmar Ismail mendirikan Perfini, hal ini dipandang sebagai tonggak awal sejarah perfilman di Indonesia yang sesungguhnya. Sebab baik Perfini maupun Usmar Ismail dipandang sebagai produk asli pribumi. Yang selanjutnya tanggal dimulainya produksi film pertama Perfini yaitu Darah dan Doa, pada 30 Maret 1950, ditetapkan sebagai Hari Film Nasional. //her


Halaman:
1 | 2|




Type above and press Enter to search.