WARTAJOGLO, Solo - Nama diyakini mengandung doa. Karenanya orang tua akan selalu memberikan nama yang baik kepada anak-anaknya, dengan harapan agar kebaikan bisa selalu menyertainya.
Namun demikian, masyarakat Jawa juga mempercayai tidak semua nama bisa diberikan kepada seorang anak. Karena bila dipaksakan, justru bisa membawa kesialan pada hidup si anak. Dan ini yang biasa dikenal dengan istilah 'Kabotan Jeneng' atau terbebani nama.
Tidak ada catatan yang jelas kapan manusia mulai mengenal nama dalam hidupnya. Namun yang pasti, munculnya nama merupakan refleksi dari kebutuhan manusia untuk mengidentifikasi dirinya.
Memilih nama untuk anak harus dipikirkan secara matang agar tidak sampai terjadi 'Kabotan Jeneng" |
Akan menjadi permasalahan tersendiri bila seseorang tidak memiliki nama. Mungkin untuk menyebut sosok ‘X’ kita harus membutuhkan waktu beberapa menit guna mendeskripsikan gambaran fisiknya.
Padahal bila memiliki nama, mungkin kita cuma butuh waktu tidak sampai dua detik untuk menyebutnya.
Begitu pentingnya makna sebuah nama, akhirnya juga menyadarkan orang untuk tidak memberikan nama sembarangan kepada seorang anak.
Hal ini juga telah tercantum dengan jelas dalam Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam pasal 5, dijelaskan bahwa setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
Dengan nama yang melekat pada diri seorang anak maka kita bisa dengan mudah memanggilnya, dan lebih dari itu, kita juga akan mudah mengetahui latar belakang dari si anak.
Salah satu contoh yang bisa dengan mudah dilihat adalah budaya pemberian nama pada masyarakat Jawa, terutama yang berasal dari keturunan bangsawan/ ningrat.
Penambahan kata Raden adalah contoh umum yang paling mudah kita temui. Penambahan nama itu sendiri tentu bukan tanpa sebab.
Pembedaan kasta atau status sosial adalah tujuan utama yang memunculkan pemberian nama tersebut.
Ada keinginan dari masyarakat untuk membedakan bahwa mereka yang memiliki tambahan nama tersebut, adalah golongan yang dipandang lebih ‘terhormat’ bila dibanding dnegan golongan lainnya.
Karena itulah, agaknya pepatah di atas cukup sesuai untuk meredam permasalahan nama, yang menjadi pembeda identitas status sosial.
Sebab status sosial seperti kasta atau yang lainnya, tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menilai jiwa serta perilaku seseorang.
Bukan tidak mungkin seseorang yang berasal dari kasta yang rendah, justru memiliki jiwa serta perilaku yang lebih mulia, dari mereka yang berasal dari kasta yang lebih tinggi. Semua tergantung pada proses pembelajaran yang diperoleh dari lingkungan di sekitarnya.
Identitas
Nama memang tidak perlu dikaitkan dengan status sosial seseorang, sebab hal itu akan memunculkan sikap-sikap diskriminatif, yang bisa memicu terjadinya gejolak dalam kehidupan bermasyarakat.
Diberikannya sebuah nama haruslah hanya sebatas penanda identitas seseorang, tidak lebih dari itu. Kalaupun ada tujuan yang lain, mungkin cukup sebatas penanda urutan dalam keluarga seperti yang dianut masyarakat Bali.
Di masyarakat Bali ada tradisi pemberian nama yang unik. Bagi anak pertama maka di depan nama mereka akan disematkan nama Wayan atau Gede ataupun Putu.
Sedangkan anak kedua biasanya akan diberi tambahan nama Made atau Kadek. Lalu anak ketiga diberi nama Nyoman atau Komang, dan anak ke empat diberi nama Ketut.
Tak hanya sebagai penanda identitas, sebagaian besar orang juga meyakini bahwa di balik nama terkandung sebuah doa dan harapan.
Dipilihnya satu nama tertentu untuk seorang anak, tentu akan diiringi sebuah harapan besar dari orang tua si anak tersebut, agar bisa menjadi seperti sosok yang namanya dipakai.
Karena itulah, nama dari tokoh-tokoh besar di jaman dulu kerap dipilih untuk disematkan pada seorang anak, contohnya adalah Muhammad, Isa, (Resi) Bisma, (Raden) Wijaya, dan lain-lain.
Selain itu, tak jarang pula para orang tua berusaha untuk mencari kata atau kalimat tertentu yang memiliki arti baik, untuk dijadikan nama anak mereka.
Kata-kata yang bermakna baik seperti Selamet, Untung, Anugerah, Rizky atau yang lainnya, kerap dipilih dengan harapan agar anak yang memiliki nama tersebut benar-benar bisa mendapatkan kondisi seperti nama yang dimilikinya.
Kabotan Jeneng, Konsep Budaya Jawa terkait Kesalahan dalam Pemilihan Nama https://t.co/Tq4P2E9uM1
— 🇼🇦🇷🇹🇦🇯🇴🇬🇱🇴 (@wartajoglo) June 9, 2024
“Bagi orang Jawa, terutama yang terlibat dalam pemerintahan, biasanya nama yang diberikan sebatas pertanda saja. Misalnya kalau lahirnya tepat di hari Senin, maka nama yang diberikan juga Senen. Lalu kalau lahir di pasaran Legi, diberi nama Legiyo dan lainnya," jelas KP. Daryohadinagoro, budayawan asal Solo seperti dikutip dari Majalah LIBERTY.
Kalau kemudian dia bekerja di perpustakaan maka namanya kelak pasti akan berganti menjadi Pustokodipuro. Demikian pula dengan profesi yang lainnya,” tambahnya.
Terkait pemberian nama yang didasarkan pada tokoh-tokoh besar di masa lalu, menurut pria yang juga akrab dipanggil Kanjeng Cuk ini, umumnya didasarkan pada sejarah dan kisah hidup tokoh yang memiliki nama tersebut.
Hal ini biasanya akan banyak dipakai oleh mereka yang masuk dalam lingkaran keraton. Karenannya, akan banyak ditemui nama yang cenderung diulang dari masa ke masa, di kalangan orang-orang ini.
Namun sayangnya dalam pemilihan nama yang diambil dari nama tokoh terdahulu, untuk seorang anak, orang tua kerap tidak pernah menyadari, kalau nama tersebut bisa menjadi beban tersendiri bagi kehidupan si anak.
Masyarakat Jawa mengenalnya dengan sebutan kabotan jeneng atau terbebani nama.
Disebut demikian karena terkadang si pemilik nama justru tidak pernah mengalami kebahagiaan, karena ada beban energi yang tidak selaras dengan dirinya.
Berbagai musibah malah kerap menghampirinya, hingga selalu memunculkan keresahan dalam jiwanya.
Dan fenomena ini bukanlah hal baru di masyarakat. Karena itulah kemudian banyak orang yang berusaha mengganti namanya, dengan nama yang diyakini lebih baik.
Menurut Kanjeng Cuk ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang memiliki nama yang berat.
Pertama karena minimnya pengetahuan orang tua mengenai sejarah dari tokoh yang namanya dipakai untuk anak mereka.
Umumnya para orang tua hanya melihat dari kosakata pembentuk nama tersebut yang dipandangnya bagus.
Padahal lebih dari itu, di balik nama tersebut ternyata tersimpan sebuah sejarah menyedihkan yang bukan tidak mungkin berimbas pada kehidupan di anak.
Penyebab lain adalah tidak dimilikinya bekal kemampuan spiritual yang lebih oleh anak-anak yang memakai nama dari tokoh terdahulu.
Padahal dengan menyandang nama tersebut, seseorang dituntut memiliki kekuatan lebih, agar bisa meredam efek buruk dari nama tersebut.
“Nama-nama seperti Ronggolawe, Bisma atau yang lainnya haruslah dimiliki oleh orang yang secara batin memiliki kelebihan. Sebab bila tidak, maka dia akan mengalami masalah dalam hidupnya. Sebab tokoh-tokoh yang namanya dipakai itu adalah para tokoh sakti yang semasa hidupnya tidak pernah lepas dari berbagai ujian hidup,” jelas sentono dalem Keraton Surakarta Hadiningrat itu.
Doa
Pergantian nama memang dibutuhkan agar bisa lepas dari beban tersebut. Sebuah ritual khusus perlu diadakan untuk mengiringi proses pergantian nama agar benar-benar membawa keberuntungan.
Diperlukan ritual khusus untuk melakukan pergantian nama |
Sebab proses pemberian nama ataupun pergantian nama tidak bisa lepas dari sebuah harapan kepada Tuhan, agar diberikan kehidupan yang baik.
Karena itu, alangkah baiknya juga disertai dengan serangkaian prosesi ritual tertentu, sebagai simbol jalinan komunikasi antara manusia dengan Tuhan.
Sebuah ritual sederhana seperti selamatan, ruwatan atau yang lainnya memang perlu untuk menyertai proses pergantian nama.
Namun semua tentu tidak lepas dari masalah biaya yang terkadang tidak sedikit. Nah, bagi mereka yang secara ekonomi pas-pasan, tentu akan mengalami kesulitan tersendiri.
Karena itu, Kanjeng Cuk menjelaskan bahwa hal utama dalam prosesi penggantian nama adalah berdoa. Jadi, meski tanpa harus ada selamatan dan yang lainnya, yang penting disertai doa untuk menjadi lebih baik, sudah cukup.
“Selamatan itu kan tradisi yang dicontohkan nenek moyang kita, dan itu bukan sesuatu yang buruk. Tapi kalau misalnya tidak memiliki biaya, dan sangat mendesak untuk segera berganti nama, maka cukup berdoa saja sambil berharap nama baru yang disandangnya akan memberi kebaikan,” jelasnya.
Senada dengan Kanjeng Cuk, budayawan dari Universitas Negeri Jogjakarta (UNY), Soewardi Endraswara menyebut bahwa doa adalah point penting dari pemilihan nama.
Di balik nama pasti terkandung doa. Karena itu orang akan selalu berusaha memilih kosakata yang bermakna baik untuk nama anak-anak mereka.
Menurut pemerhati kebudayaan Jawa ini, ada banyak pilihan kata yang bisa dipilih untuk sebuah nama. Baik itu berasal dari bahasa Jawa, Sansekerta, Arab atau lainnya. Dan untuk itu, selain secara estetika indah, hendaklah dipilih yang memiliki makna yang baik. //Her