WARTAJOGLO, Madiun - Hujan gerimis langsung turun seiring dengan gerakan tangan Ki Lawu Maospati yang seperti menarik sesuatu dari atas.
Kondisi seperti ini menurut Ki Lawu, memang kerap terjadi dalam sebuah prosesi ritual penarikan pusaka.
Di mana efek dari pancaran tenaga dalam yang digunakan untuk melakukan penarikan, pasti akan mempengaruhi kondisi di sekitarnya, termasuk keberadaan awan.
Ya, saat itu Ki Lawu dan beberapa rekannya memang tengah mencoba melakukan penarikan pusaka di komplek Sitinggil Ngukir Rahtawu.
Tempat keramat yang berada di wilayah Dusun Ngukiran, Desa Tawang Rejo, Kecamatan Gemarang, Kabupaten Madiun, Jawa Timur ini memang dikenal banyak menyimpan pusaka.
Prosesi ritual penarijkan pusaka di punden Ngukir Rahtawu Madiun |
Karena itu, pada saat-saat tertentu kerap terlihat orang-orang yang melakukan ritual penarikan secara gaib di tempat ini.
Pun demikian dengan yang dilakukan oleh Ki Lawu. Dorongan rasa penasaran yang begitu besar membuatnya mencoba menguji kebenaran kabar terkait tempat ini.
Maka dia bersama tiga orang temannya pun mendatangi tempat yang berada di tengah rimbunnya hutan jati wilayah Madiun itu.
Butuh
sedikit perjuangan untuk bisa sampai ke tempat ini. Sebab hanya
orang-orang tertentu saja yang tahu keberadaannya. Termasuk saat harus
menggapai puncak bukit, di mana pusat dari kekuatan gaib tempat ini
berada.
Sitinggil Ngukir Rahtawu memang berada di atas bukit. Dan hal ini pula yang membuatnya disebut dengan Sitinggil atau tanah yang tinggi.
Puluhan anak tangga harus ditapaki dengan perlahan
dan hati-hati untuk sampai di puncaknya. Yang tentunya membutuhkan
stamina tersendiri, agar perjalanan lancar.
Namun bagi para pelaku ritual, seperti Ki Lawu dan teman-temannya, hal seperti ini bukan halangan.
Rutinitas
latihan olah kanuragan yang mereka jalani selama ini, membuat fisik
mereka sudah terlatih untuk sekedar mendaki bukit-bukit kecil, seperti
Ngukir Rahtawu.
Sesampainya di puncak, ritualpun langsung digelar. Usai berdoa dan meminta izin di petilasan Begawan Abiyasa, yang berada di dalam cungkup, mereka langsung mempersiapkan segala keperluan ritual.
Selembar kain mori langsung digelar tepat di bawah sebatang pohon beringin, yang berada di depan gapura masuk cungkup.
Ilmu Khusus
Beberapa perlengkapan ritual seperti kembang setaman, kemenyan, minyak wangi serta hioswa juga disiapkan.
Lalu Ki Lawu mulai duduk tepat di tengah hamparan kain mori menghadap serangkaian sesaji yang telah disiapkan.
Sementara tiga orang temannya diperintahkan untuk bertelanjang dada dan duduk berhadapan dengannya.
Usai merapal mantera tertentu, tiba-tiba saja ketiganya seperti kehilangan kesadaran dan bergerak merayap ke segala arah.
Tak hanya itu, ketiganya juga bertindak seperti seekor anjing yang tengah mencari makan, dengan hidungnya yang mencium tanah.
“Itu ilmu celeng srenggi. Ilmu ini memang kerap dirapal oleh orang-orang yang melakukan pencarian barang tertentu. Tak hanya barang yang tersembunyi dan tidak terlihat, bahkan yang berada di alam gaib juga bisa dideteksi dengan ilmu ini. Makanya dalam penarikan pusaka ini, kami menggunakan ilmu tersebut untuk melakukan deteksi,” jelas Ki Lawu seperti dikutip dari Majalah LIBERTY edisi Januari 2015.
Sembari menggigit selembar daun pandan, ketiga teman Ki Lawu terus bergerak menyisir setiap sudut tempat di sekitar lokasi ritual.
Sementara Ki Lawu sendiri melakukan meditasi guna merapal tenaga dalam. Beberapa kali dia terlihat melakukan gerakan seperti menarik sesuatu dari atas ke bawah.
Sampai saat tubuhnya terlihat bergetar hebat, tiba-tiba hujan gerimis turun.
Namun turunnya hujan ini sama sekali tidak mempengaruhi aktifitas ritual mereka.
Kepulan asap kemenyan yang dibakar, seakan menambah suasana mistis di tempat itu.
Sehingga tanpa terasa, bulu kudukpun berdiri dengan sendirinya saat prosesi ritual sedang berlangsung.
“Daun
pandan berfungsi sebagai detektor gaib, yang akan menuntun pelaku
ritual menuju ke titik di mana benda yang dicari berada. Dalam kondisi
trance dan dnegan menggigit daun pandan, maka gerakan dari pelaku ilmu
celeng srenggi akan cenderung dikendalikan oleh kekuatan di luar
dirinya,” ungkap Ki Lawu.
Dan benar, sesaat kemudian, salah satu dari ketiga pelaku ilmu celeng srenggi itu menghentikan gerakannya di satu titik.
Lalu tiba-tiba tubuhnya bergetar hebat sembari menenggelamkan hidung dan mulutnya ke permukaan tanah.
Keajaibanpun terjadi. Bersamaan dengan berhentinya getaran di tubuhnya, salah seorang teman Ki Lawu itu mengangkat wajahnya.
Daun pandan yang sebelumnya digigit tampak lenyap. Dan dari mulutnya dia terlihat seperti mengulum sesuatu.
Diapun segera merangkak menuju ke arah Ki Lawu. Mengetahui hal ini Ki Lawu meyakini kalau ritual yang dilakukan telah berhasil.
Dia langsung mengambil sebuah keranjang bambu yang sebelumnya dipakai sebagai wadah bunga.
Keranjang itu langsung disodorkan ke arah wajah temannya yang masih dalam kondisi trance.
Sebongkah batu berwarna kuning kecoklatan lantas dimuntahkan dari mulut temannya itu.
Entah
batu apa itu, namun yang pasti batu tersebut bukanlah batu biasa. Sebab
penemuannya melalui sebuah proses ritual, yang tidak sembarang orang
bisa melakukannya.
“Dari penampilannya, ini seperti batu
koclak. Sebab di dalamnya seperti terlihat ada ruang yang terisi air.
Batu seperti ini biasa dipakai sebagai jimat. Karena diyakini memiliki
energi kerejekian. Makanya yang biasa menyimpan batu ini adalah para
pedagang,” jelas Ki Lawu sembari mengamati batu yang baru saja
didapatkannya.
Di komplek Sitinggil Ngukir Rahtawu memang kerap ditemukan berbagai jenis pusaka, baik itu berupa keris, tombak maupun bebatuan.
Kuat dugaan bahwa benda-benda itu adalah peninggalan dari Raden Rangga Jumeno, Bupati Madiun pertama.
Sisa Konflik
Hal
ini sangat mungkin terjadi, sebab saat terjadi perseteruan dengan
Mataram, Raden Rangga Jumeno diduga memilih meninggalkan Kraton Madiun
dan menyepi di Ngukiran.
Ini dilakukan karena dia tidak bisa menerima upaya Mataram yang ingin menguasai wilayahnya.
Perseteruan antara Mataram dan Madiun sebenarnya merupakan buntut penentangan dari Rangga Jumeno atas berdirinya kerajaan tersebut.
Rangga Jumeno adalah salah satu dari trah dinasti Kerajaan Pajang, yang dikenal dengan nama Pangeran Timur.
Karena tidak mau mengakui kedaulatan Mataram, akhirnya dia mendirikan wilayah Madiun di Jawa Timur.
Dan karena dipandang bisa merongrong kewibawaan Mataram, akhirnya Madiun diserang.
Namun kesaktian dari Raden Rangga Jumeno tidak bisa dipandang remeh. Pasukan Mataram pun dibuat tak berdaya saat menghadapi Madiun.
Sampai
kemudian digunakan taktik jitu, di mana Panembahan Senopati
mempersunting putri Rangga Jumeno, Retno Dumilah. Yang ternyata memang
snagat efektif untuk meredam kekuatan Madiun.
“Raden Rangga
Jumeno dikenal sebagai sosok yang sangat idealis. Karena itulah, meski
putrinya dinikahi Panembahan Senopati, dia tetap tidak mau tunduk pada
Mataram. Karena itu banyak pihak yang menduga bahwa dia kemudian
memutuskan untuk keluar keraton dan menghabiskan masa hidupnya di
pertapaan. Dan Sitinggil ini adalah salah satu tempat dia melakukan tapa
brata,” terang ki Lawu yang pernah menulis novel tentang sejarah Madiun
itu.
Namun demikian, sejarah tentang Sitinggil Ngukir Rahtawu sendiri masih simpang siur.
Sebab menurut Harnito sang juru kunci, tempat ini adalah petilasan Begawan Abiyasa, tokoh pewayangan yang juga leluhur dari para Pandawa dan Kurawa.
Menurut Harnito, dalam upayanya menjaga ketentraman alam semesta, Begawan Abiyasa kerap melakukan tapa brata di tempat ini, untuk meminta petunjuk dari Yang Maha Kuasa.
“Pada saat-saat tertentu,
Eyang Abiyasa kerap menemui saya untuk memberi petunjuk terkait
berbagai peristiwa yang akan terjadi. karena itulah tiap malam 1 Suro,
tempat ini pasti dipadati pengunjung, yang ingin mendapat petunjuk dari
Eyang (Abiyasa),” ungkap Harnito. //Rad