TfG6TUW8BUO7GSd6TpMoTSd7GA==
,, |

Headline News

BLT Berpotensi Picu Gejolak. LAPAAN RI: Demi Keadilan, Penyaluran BLT Tak Harus Sesuai Ketetapan Menteri Desa


Jumlah anggaran BLT yang tidak sesuai dengan jumlah warga terdampak, diprediksi berpotensi memicu gejolak sosial

WARTAJOGLO, Solo - Pandemi Covid-19 memang telah berdampak secara signifikan pada sektor ekonomi. Dipastikan banyak muncul orang miskin baru, setelah banyak tempat usaha tutup dan merumahkan para pegawainya. Karena itulah diperlukan pemutakhiran data di masyarakat. Untuk bisa memastikan jumlah warga miskin baru dan berhak mendapatkan bantuan.

Hal inilah yang berpotensi memicu gejolak. Sebab sejauh ini proses pemutakhiran data belum dilakukan secara maksimal. Yang mana data penerima bantuan hanya berpijak pada data lama. Sehingga banyak warga yang harusnya berhak mendapatkan bantuan karena terdampak corona, justru tidak terdata.

"Banyak laporan ke saya dari mereka yang sebenarnya berhak mendapatkan bantuan, tapi justru tidak dapat. Itu karena data yang dipakai bukan data terbaru. Padahal pandemi Covid-19 ini kan peristiwanya baru terjadi dan masih berlangsung. Dan imbasnya secara ekonomi sangat luar biasa. Makanya yang harus digaris bawahi, bahwa yang berhak menerima bantuan adalah mereka yang terdampak corona. Dan realitanya tentu semua juga terdampak. Jadi harusnya semua diberi bantuan. Tinggal nanti kembali pada urusan etika dan moral. Apakah orang yang mendapat bantuan itu merasa membutuhkan atau tidak. Kalau tidak, bantuan itu bisa diserahkan ke yang lain atau dikembalikan," ujar Ketua Lembaga Penyelamat Aset dan Anggaran Belanja Negara Republik Indonesia (LAPAAN RI), BRM Kusumo Putro SH.MH.

BRM. Kusumo Putro, SH.MH 

Pun demikian dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang bersumber dari dana desa. Kusumo melihat bahwa penyaluran bantuan ini bisa jadi boomerang bagi kepala desa, karena jumlah yang dikucurkan pemerintah pusat, tidak sebanding dengan jumlah warga yang berhak.

"Sesuai dengan Permendes PDTT Nomor 6 Tahun 2020. Khususnya Pasal 8a ayat 3, disebutkan bahwa yang berhak menerima BLT-Dana Desa merupakan keluarga  yang kehilangan mata pencaharian atau pekerjaan, belum terdata menerima Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan kartu  pra kerja, serta yang mempunyai anggota keluarga yang rentan sakit menahun/kronis. Artinya bahwa mereka yang saat ini dirumahkan akibat corona juga berhak. Padahal itu jumlahnya sangat besar dan banyak yang belum terdata. Sementara anggaran yang diberikan terbatas. Hal inilah yang nantinya bisa memicu gejolak," imbuh Kusumo saat ditemui di rumahnya kawasan Perumahan Elit Griya Kuantan Gonilan sukoharjo jum'at ( 1/5 ) sore. 

Dalam Permendes PDTT tersebut juga dijelaskan bahwa BLT yang dialokasikan untuk 74.953 desa di seluruh Indonesia mencapai Rp 22,4 triliun. Adapun jumlah dana desa tahun ini mencapai Rp 72 triliun.

Untuk dana desa yang kurang dari Rp 800 juta, alokasi BLT ditetapkan 25 persen dari dana desa. Sementara untuk dana desa antara Rp 800 juta hingga Rp 1,2 miliar, maka alokasi BLT sebesar 30 persen. Sedangkan yang di atas Rp 1,2 miliar, alokasinya ditetapkan 35 persen.

Azas Keadilan 

Namun demikian ada kemungkinan besaran itu akan bertambah, sesuai dengan kondisi desa, bila benar-benar sangat membutuhkan. Dan syaratnya harus ada persetujuan bupati atau wali kota. Ini untuk meyakinkan betul bahwa data yang ada benar-benar valid.

"Saya banyak mendengar keluhan dari para kepala desa terkait pembagian BLT ini. Bagaimana tidak, dengan alokasi sekitar 30% dari dana desa, itu artinya desa cuma punya anggaran sekitar Rp. 300 jutaan. Itu dengan asumsi dana desa yang diterima Rp 1 miliar. Dari dana itu bila dibagi Rp. 1,8 juta, berarti hanya ada sekitar 166 keluarga yang dapat bantuan. Padahal pada kenyataannya, dalam kondisi saat ini jumlah keluarga yang berhak menerima bisa meningkat pesat. Makanya saya sarankan, untuk memenuhi azas pemerataan, sebaiknya pihak desa mewujudkan bantuan itu dalam bentuk sembako. Sehingga semua warga yang terdampak bisa mendapatkan bantuan," jelas pria yang dikenal sebagai seorang lawyer dan sedang menempuh program doktoral ilmu hukum di Unisula Semarang ini.

Tokoh yang juga anggota PERADI Kota Surakarta itu sadar bahwa sarannya tersebut akan berbenturan dengan kebijakan Menteri Desa PDTT. Yang menegaskan bahwa BLT harus diberikan dalam bentuk uang tunai sebesar Rp. 600 ribu selama 3 bulan. Namun baginya yang terpenting dalam kondisi saat ini adalah meredam gejolak dari warga yang terdampak corona.

Suasana penyaluran BLT

"Dalam kondisi seperti sekarang ini, mereka yang benar-benar terdampak pasti sangat membutuhkan bantuan. Nah, kalau misal ada yang tidak kebagian, hal itu tentu bisa memicu kesenjangan. Apalagi bila ternyata ada beberapa warga yang sebenarnya tidak patut dapat bantuan, ternyata malah dapat. Dan kondisi seperti ini sudah biasa di masyarakat kita. Di mana orang-orang dekat dari perangkat desa ataupun tim sukses, biasanya jadi prioritas. Makanya saran saya sebaiknya itu dana dibagi rata. Diwujudkan sembako. Tapi semua warga yang benar-benar terdampak harus dapat. Jadi pihak desa harus melakukan pendataan ulang secara cermat," tegasnya.

Untuk itu, pemerintah desa harus mendiskusikan hal ini dengan seluruh perangkat, termasuk RT dan RW. Dengan begitu kebijakan yang dikeluarkan merupakan hasil keputusan bersama yang diketahui oleh semua pihak. Bukan keputusan sepihak dari kepala desa, yang akhirnya bisa membuatnya terjerat hukum.

"Semua harus dirundingkan bersama. Jangan ada keputusan sepihak yang berbau penyalahgunaan kewenangan. Karena hal itu bisa berimplikasi hukum pada kepala desa. Intinya untuk kebaikan bersama, segala hal bisa dilakukan," pungkas pria yang kerap menggelar berbagai aksi sosial itu. //sik

Type above and press Enter to search.