Langkah berat harus dijalani manajemen hotel, demi tetap bertahan di tengah krisis akibat wabah corona
WARTAJOGLO, Sukoharjo - Di tengah merebaknya wabah corona, industri pariwisata dan perhotelan menjadi sektor yang merasakan pukulan terberat. Satu per satu hotel harus berhenti beroperasi, karena tidak bisa menutupi biaya operasional, di tengah jumlah okupansi yang anjlok. Tak terkecuali yang ada di wilayah Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
Hal inilah yang kemudian mendorong Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Badan Pimpinan Cabang (BPC) Sukoharjo, melakukan audiensi dengan bupati untuk meminta keringanan pajak hotel dan restoran. Dan dalam audiensi tersebut, akhirnya Bupati Sukoharjo, Wardoyo Wijaya berkenan membebaskan pajak untuk bulan April dan Mei 2020. Serta p3nundaan pembayaran PBB hingga Desember 2020, tanpa dikenakan denda.
Keputusan ini tentu saja cukup melegakan para pelaku industri perhotelan, di tengah situasi yang sangat menyulitkan. Sebab dengan begitu mereka bisa mengalokasikan dana pembayaran pajak itu, untuk tambahan biaya operasional. Termasuk gaji karyawan. Sebab gajj kargawan adalah alokasi biaya terbesar dalam operasional hotel.
"Dari pertemuan dengan pak Bupati kemarin, kami sangat bersyukur karena akhirnya bisa mendapat keringanan pajak. Dengan begitu kami bisa terus beroperasi, meski harus dengan berbagai strategi yang memberatkan," ujar Ika Florentina, Humas PHRI BPC Sukoharjo saat ditemui usai acara konferensi pers hasil audiensi PHRI dengan Bupati Sukoharjo, di Favehotel Solo Baru, Rabu (8/4) siang.
Ika yang juga Cluster GM Favehotel Manahan dan Solo Baru menjelaskan bahwa akibat wabah corona ini penurunan okupansi hotel terbilang sangat signifikan. Sebab saat sebelum pandemi rata-rata hotel memiliki okupansi 80-90%. Namun sekarang jumlah itu menurun drastis hingga hanya terssa 5-20%. Padahal untuk mencapai break even point (BEP), setidaknya harus ada okupansi minimal 50%. Itu artinya semua hotel saat ini sedang merugi.
Berjuang
Karena itulah beragam upaya dilakukan untuk bisa menekan biaya operasional. Di Favehotel sendiri Ika menjelaskan bahwa saat ink pihaknya merumahkan setengah jumlah karyawanya secara bergiliran. Di mana mereka hanya masuk selama 15 hari kerja dan mendapat gaji separuh.
Ika mengatakan bahwa pihaknya lebih memilih jalan itu daripada menutup hotel, seperti yang dilakukan banyak hotel lainnya. Sebab dia ingin agar karyawan tetap bisa mendapatkan penghasilan, meskipun hanya separuh. Serta mempertimbangkan dampak psikis yang sangat berat pada karyawan, bila hotel sampai tutup.
BACA JUGA:
"Meski berat, kami sengaja tidak menutup hotel. Karena kalau sampai ditutup,, justru dampaknya akan jauh lebih berat. Selain secara psikologis berat untuk karyawan, image hotel sendiri juga jadi tidak baik. Karena itulah kita putuskan untuk mengadakan cuti tidak berbayar yang berlaku pada semua level karyawan. Dan hal ini akan kita lakukan setidaknya dua bulan ini sambil melihat perkembangan lebih lanjut," jelasnya sembari menambahkan bahwa pihak hotel juga memberi bantuan sembako untuk meringankan beban karyawan.
Saat Wine Jadi Lifestyle Baru di Kota Solo
"Meski berat, kami sengaja tidak menutup hotel. Karena kalau sampai ditutup,, justru dampaknya akan jauh lebih berat. Selain secara psikologis berat untuk karyawan, image hotel sendiri juga jadi tidak baik. Karena itulah kita putuskan untuk mengadakan cuti tidak berbayar yang berlaku pada semua level karyawan. Dan hal ini akan kita lakukan setidaknya dua bulan ini sambil melihat perkembangan lebih lanjut," jelasnya sembari menambahkan bahwa pihak hotel juga memberi bantuan sembako untuk meringankan beban karyawan.