Bersamaan dengan bunyi gong, warga memakan sirih sembari berdoa agar senantiasa mendapatkan limpahan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa
WARTAJOGLO - Ratusan warga berkerumun di depan pagongan atau serambi Masjid Gede Keraton Surakarta Hadiningrat, untuk menunggu saat-saat dimainkannya gamelan sekaten oleh para abdi dalem pengrawit, Sabtu (2/11) siang. Suara pertama dari ganelan Kyai Guntur Madu, selama ini memang diyakini membawa berkah. Karenanya, warga yang berasal dari berbagai daerah di sekitar Kota Solo, sudah memadati kawasan Masjid Gede sejak pagi.
Dalam tradisi sekaten, dimainkannya sepasang gamelan peninggalan wali di serambi masjid adalah satu hal yang tidak bisa ditinggalkan. Sebab kegiatan tersebut adalah bagian dari tradisi itu sendiri, yang dalam sejarahnya digunakan sebagai media dakwah para wali.
Gamelan sekaten sendiri awalnya adalah gamelan pusaka peninggalan Kerajaan Majapahit. Namun setelah Majapahit runtuh, gamelan yang memiliki nama Kyai Sekar Delima itu diboyong ke Demak. Oleh Sunan Kalijaga gamelan itu dibuatkan pasangan kembar yang diberi nama Kyai Sekati. Yang kemudian dipakai untuk media dakwah.
Pasangan Kyai dan Nyai Sekati terus bertahan dalam misi dakwah para wali, termasuk hingga diciptakannya tradisi sekaten. Di mana gamelan ini dimainkan sebagai bagian dari rangkaian tradisi itu.
Sepeninggal Kerajaan Demak, tradisi sekaten terus bertahan meski tidak semeriah sekarang. Karena saat itu sifatnya masih dalam upaya dakwah.
Para abdi dalem memikul gong Kyai Guntur Madu menuju komplek Masjid Gede |
Tradisi sekaten mulai dirayakan secara besar-besaran saat masa kepemimpinan Sultan Agung dari Mataram. Bahkan saat Mataram terpecah menjadi dua yaitu Surakarta dan Jogjakarta, tradisi ini tetap bertahan.
Perpecahan di tubuh kerajaan Mataram kontan saja memunculkan pembagian pusaka kerajaan, termasuk gamelan sekaten. Dari kesepakatan dua raja, akhirnya seperangkat gamelan Kyai Sekati menjadi milik Keraton Surakarta dan Nyi Sekati menjadi milik Keraton Jogjakarta.
Demi pelestarian tradisi sekaten, masing-masing kerajaan membuatkan pasangan dari gamelan itu. Di Surakarta, Kyai Sekati diubah namanya menjadi Kyai Guntur Madu dan dibuatkan pasangan dengan nama Kyai Guntur Sari. Sedangkan di Jogja, Nyi Sekati diubah namanya menjadi Nyai Guntur Madu dan dibuatkan pasangan dengan nama Kyai Naga Wilaga.
Gamelan-gamelan ini selanjutnya dibunyikan tepat tujuh hari sebelum puncak acara Grebeg Mulud, sampai dengan malam hari menjelang perayaan. Alunan suara gending Rambu dan Rangkung terus menggema menebarkan energi tersendiri yang diyakini bisa mendatangkan berkah bagi yang mendengarkannya.
Komplek pagongan tempat dimainkannya gamelan sekaten |
Tiap hari puluhan orang dengan setia duduk termangu menikmati alunan gending-gending keramat itu. Mereka meyakini bahwa alunan gending ini bisa mendatangkan ketentraman dalam hidup mereka. Hal ini karena gending Rambu sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Arab Rabbi atau Tuhan. Sedangkan Rangkung juga berasal dari bahasa Arab Raukhon yang berarti Jiwa yang Agung.
Tapi kerumunan warga yang paling besar terjadi pada saat awal mula gamelan ini dibunyikan. Karena pada saat itu, pancaran energi dari alunan gamelan ini diyakini mampu memberikan warna tersendiri pada hidup seseorang. Terutama bagim yang melengkapinya dengan memakan sirih. Sebab pancaran energi itu akan bersinergi dengan khasiat ramuan sirih pinang, hingga membuat orang yang memakannya mendapat berkah awet muda.
Energi Positif
Makan sirih saat ditabuhnya gamelan sekaten untuk pertama kalinya, memang menjadi bagian dari tradisi unik sekaten itu sendiri. Karena itulah, ratusan warga akan bergerombol tepat di depan pagongan, tempat gamelan sekaten diletakkan dan dimainkan. Dan bersamaan dengan bunyi gong yang ditabuh, saat itu pula ratusan warga secara bersama-sama mengunyah daun sirih yang di dalamnya telah dicampur dengan bahan-bahan lainnya seperti kapur atau enjet, pinang serta tembakau.
Pedagang sirih pinang bertebaran di sekitar pagongan |
Komposisi campuran sirih sekaten ini sebenarnya tidak jauh beda, dengan komposisi ramuan sirih yang biasa dimakan orang-orang tua dulu. Namun demikian ada satu yang membedakan dan cukup mencolok, yaitu adanya sekuntum bunga kantil yang juga ikut disertakan di dalamnya.
Bunga kantil memang kerap diyakini memiliki kekuatan tertentu. Kantil sendiri dalam bahasa Jawa berarti legket. Karena itulah bunga ini diyakini memiliki kekuatan untuk menarik energi positif dari alunan suara gamelan sekaten yang diperdengarkan. Yang tentunya diyakini bisa mendatangkan berkah tersendiri bagi yang melakukannya.
Keyakinan akan kekuatan sirih sekaten sebenarnya bukan isapan jempol. Karena pada dasarnya sirih memang dikenal sebagai tanaman obat yang memiliki banyak khasiat obat. Daun dari tanaman menjalar ini mengandung zat antiseptic yang berkhasiat membunuh berbagai macam kuman. Sehingga bila dikunyah, maka mulut akan senantiasa terbebas dari kuman.
Dengan mulut yang selalu bersih, maka gigi akan senantiasa awet, sehingga membuat seseorang akan selalu terlihat awet muda. Dan kondisi ini diperkuat dengan keyakinan adanya kekuatan aura gending Rambu dan Rangkung yang dimainkan dengan gamelan sekaten. Sehingga sugesti dalam diri yang terbentuk benar-benar menciptakan kekuatan tersendiri, yang membuat setiap orang yang memakan sirih sekaten ini benar-benar mendapatkan berkah awet muda, panjang umur serta rejeki.
"Makan sirih itu sebenarnya kebiasaan nenek moyang untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut. Karena di dalam sirih terkandung zat-zat tertentu yang bermanfaat. Dan dalam konteks sekaten, dilakukannya makan sirih saat dibunyikannya gamelan tentu tak lepas dari pelestarian tradisi dan kearifan lokal. Yang secara filosofi terkandung harapan untuk mendapatkan berkah kebaikan," jelas pemerhati budaya asal Solo, BRM. Kusumo Putro, SH, MH.
Dan terkait tingginya antusiasme masyarakat untuk mengikuti rangkaian tradisi sekaten. Kusumo yang juga Ketua Umum Forum Budaya Mataram mengatakan, bahwa hal itu tentu tak lepas dari keyakinan akan limpahan berkah dari Yang Maha Kuasa dalam acara tersebut.
"Masih antusiasnya masyarakat mengikuti rangkaian acara sekaten, menunjukkan bahwa masyarakat kita masih guyub rukun. Mereka sadar bahwa ini adalah tradisi leluhur yang harus dijaga. Apalagi di balik itu, mereka yakin bisa mendapatkan berkah. Terutama saat mengikuti prosesi kirab gunungan. Sebab gunungan yang berisi bermacam hasil bumi itu, adalah simbol dari pengharapan kepada Yang Maha Kuasa untuk mendapatkan kesejahteraan," sambung Kusumo.
Baca Juga:
Penghantar Doa
Tak hanya dengan memakan sirih, para warga juga terlihat berkomat-kamit membaca doa dan mantera, bersamaan dengan dipukulnya gong. Sebab bunyi gong diyakini seperti ucapan kata amiin yang kerap terlontar dalam sebuah bait doa. Lantaran suara benda yang satu ini hanya diperdengarkan sesekali, guna menutup rancaknya irama perangkat gamelan lain.
Ritual khusus dilakukan abdi dalem pengrawit, sebelum memainkan gamelan, terutama gong Kyai Guntur Madu |
Gong di sini memang diyakini sebagai nyawa dari seperangkat gamelan. Tanpa suara gong, alunan irama gamelan akan terdengar hambar. Karena itulah, suara gong dipandang sangat sakral terutama dalam alunan gending-gending tertentu, seperti dalam tradisi sekaten.
Dan karena begitu sakralnya alat musik yang satu ini, serangkaian sesajipun terlihat diletakkan di dekatnya. Bahkan sebuah tungku yang berada di bawah alat musik itu, terlihat tak pernah berhenti mengepulkan asap tebal berbau harum, dari bongkahan kemenyan yang dibakar.
Ya, gong Kyai Guntur Madu memang diyakini mampu menjadi pengantar doa para warga yang berkumpul di pagongan masjid. Sembari mendengarkan dengan seksama tiap ketukan nada yang dihasilkan dari seperangkat gamelan tersebut, tak henti-hentinya mereka berdoa kepada Tuhan. Mereka berharap semoga ke depannya bisa senantiasa diberikan perjalanan hidup yang indah dan harmonis, seperti harmonisasi alunan gending sekaten.
Warga berdoa bersamaan dengan alunan suara gamelan |
“Saya berharap semoga rejeki saya lancar. Dan anak saya bisa segera mendapat pekerjaan,” ucap Suwarti, warga Pengging, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah sembari beberapa kali menyentuh badan gong.
Dan di tengah harapannya yang begitu mulia dan sederhana itu, Suwarti tampak menggenggam sebuah bungkusan plastik berisi bunga mawar merah putih yang sebelumnya disandingkan di dekat gong. Bunga bercampur air tujuh sumber itu nantinya akan dicampurkan dalam bak mandi miliknya, untuk dipakai mandi seluruh anggota keluarganya.
Suwarti adalah salah satu dari sekian ribu warga yang masih percaya dan menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi leluhur seperti sekaten. Karenanya, dia rela tiap tahun datang jauh-jauh dari Boyolali, demi mengharap berkah dalam tradisi tersebut.
Dan bahkan pada puncak acara berupa rebutan gunungan nantinya, dia juga rela ikut berdesak-desakkan untuk mengambil bagian gunungan. Sebab keberhasilan mendapat isi gunungan diyakini sebagai simbolisasi diperolehnya berkah di dunia ini.//her