TfG6TUW8BUO7GSd6TpMoTSd7GA==
,, |

Headline News

Tuduhan “Predatory Pricing”, Bisa Merusak Iklim Investasi dalam Bisnis Ojol


Beberapa kali masyarakat mendengar tuduhan predatory pricing pada produk atau pasar yang diregulasi pemerintah. Padahal tuduhan seperti itu bisa berdampak kurang baik pada pertumbuhan industri di tanah air.



WARTAJOGLO - Belum hilang dari ingatan, isu ini sempat mencuat ketika persaingan taksi konvensional akhirnya membuat pemerintah batas bawah tarif angkutan ini. Yang lebih dekat adalah polemik harga tiket pesawat terbang yang masih berlangsung hingga kini. Dan yang sedang hangat, tuduhan adanya praktek predatory pricing dalam tarif baru (ojek online) ojol oleh sejumlah pihak.

Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Benny Pasaribu mengingatkan agar Kementerian Perhubungan dan pihak lain tidak mudah menuduh adanya predatory pricing karena dapat mengganggu pertumbuhan industri terkait dan merusak iklim investasi. 

“Dalam hukum persaingan usaha ada prinsip ‘Rule of Reason’ yang menuntut penelitian mendalam dan pembuktian secara prosedural. Tidak bisa loncat pada kesimpulan adanya pelanggaran dan langsung menuduh,” ujar Benny di Jakarta, Selasa (28/5). 

Benny Pasaribu, yang juga Mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) RI,  mengingatkan bahwa penetapan batas bawah tarif transportasi oleh Kemenhub cenderung membela perusahaan operator tertentu meskipun dapat merugikan konsumen. Intervensi Kemenhub  dalam menentukan harga atau tarif batas bawah di pasar cenderung  mengakibatkan persaingan pasar terdistorsi. 
Benny Pasaribu

“Perusahaan yang efisien tidak boleh menjual produknya di bawah harga batas bawah tersebut. Sementara perusahaan yang tidak efisien diuntungkan karena bisa bertahan di pasar. Nah, kehadiran perusahaan yang tidak efisien ini akan merongrong daya tahan dan daya saing perekonomian bangsa,” ujar Doktor Ekonomi Persaingan dari Universitas Ottawa, Kanada, ini.  

Pernyataan Benny senada dengan pernyataan Komisioner KPPU Guntur Saragih yang mengatakan bahwa pemerintah tidak perlu mengatur batas bawah dan batas atas layanan ojek online. Menurut Guntur, penetapan harga seyogianya diserahkan pada mekanisme pasar. 

“Kami pikir tidak perlu dibikin batas bawah dan batas atas,” ujar Guntur dikutip dari berbagai media (25/3). 

Guntur mengungkapkan pengenaan tarif batas bawah akan membatasi pelaku usaha untuk memberikan layanan yang lebih murah kepada konsumen. Sementara itu, tarif batas atas akan membatasi pelaku usaha lain untuk berminat masuk ke industri. 

Guntur juga mengungkapkan KPPU tidak dilibatkan dalam penentuan tarif operator kepada konsumen. Namun, KPPU terlibat untuk advokasi dan pengawasan hubungan kemitraan antara operator dan mitra pengemudi selaku pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Menurut Benny, proses pembuktian adanya dugaan praktik predatory pricing di industri transportasi online tidak mudah. Secara prosedural harus diawali dengan menentukan lingkup pasar. Hal ini membutuhkan perhitungan dalam menentukan produk dan wilayah geografis persaingannya. Dengan demikian akan bisa dipetakan siapa bersaing dengan siapa dalam produk apa dan di wilayah mana. Motif dan dampaknya juga penting diuji di lapangan. “Bisa dilakukan tapi memang tidak mudah,” ujarnya.

Oleh karenanya Benny menghimbau agar pengamat dan terutama pemerintah tidak tergesa-gesa menyimpulkan dan mengumumkan ke publik, adanya dugaan praktik persaingan tidak sehat yang dialamatkan terhadap pelaku usaha, apalagi dalam situasi ekonomi global dan domestik yang masih tidak menentu. 

“Dalam menghadapi situasi defisit neraca transaksi berjalan dan neraca perdagangan, seharusnya kita lebih mengutamakan penciptaan kondisi yang kondusif untuk meningkatkan masuknya investasi ke dalam negeri. Memang itu butuh kebijaksanaan,” tutup Benny. //Ril

Type above and press Enter to search.